SEJARAH PUI
Sejarah dan Dinamika PUI
DUA orang takut saja jadi berani jika bersatu. Apalagi jika dua-duanya berani!
Begitulah
tamsil bagi dua ormas Islam yang bersatu dalam satu wadah para
pemberani menegakkan kebenaran Ilahi, PUI Majalengka dan PUII Sukabumi. Berikut ini kilasan sejarah keduanya.
Perikatan
Ummat Islam (PUI) atau Perikatan Oemat Islam (POI) Majalengka saat
didirikan oleh K.H. Abdul Halim di Majalengka semula bernama Majlisul
Ilmi (1911). MI tumbuh dan berkembang melalui proses perjuangan yang
penuh tantangan dan rintangan dari penjajah Kolonial Belanda masa itu.
Bahkan organisasi ini terpaksa harus mengalami beberapa kali
penyempurnaan dan pergantian nama.
Penyempurnaan
dimaksudkan untuk mendewasakan organisasi agar tahan uji terhadap
tempaan zaman dan ujian hidup. Sedangkan pergantian nama dimaksudkan di
samping untuk menyesuaikan diri terhadap misi dan beban tanggung jawab
yang harus dipikul, juga untuk menghindarkan diri dari intaian dan
ancaman pemerintah kolonial Belanda.
Tahun
1912 MI mengubah nama menjadi Hayatul Qulub (HQ) yang berarti
“menghidupkan hati”. Setelah peristiwa aksi pemogokan buruh pabrik gula
di Majalengka dalam rangka melawan penindasan penguasa Belanda, HQ makin
diawasi dan dicurigai Belanda. Lalu, atas anjuran banyak pihak, antara
lain dari tokoh pergerakan kemerdekaan HOS Cokroaminoto, HQ berubah nama
menjadi Persyarikatan Oelama (PO) tahun 1916. PO
pun mendapat rongrongan dari pihak penjajah, bahkan dari teman seiring
K.H.Abdul Halim sendiri yang telah terkena hasutan dan pengaruh aparat
pemerintah Belanda.
Mereka
memfitnah bahwa lembaga pendidikan (sekolah) yang didirikan PO itu
adalah “sekolah kafir” karena bentuk dan sistemnya seperti sekolah
Belanda, yaitu pendidikan dengan sistem kelas, duduk di bangku dan
menghadap meja serta papan tulis. Tidak
hanya itu, mereka yang tidak senang terhadap perkembangan PO juga
menyebarkan isu, bahwa PO itu bukan untuk dan milik rakyat awam, tetapi
khusus untuk dan milik para ulama.Disebarkan kabar, yang bukan ulama
tidak pantas dan tidak perlu masuk PO. Mereka pun menghasut masyarakat
agar tidak masuk PO. Terhadap fitnah tersebut, KH. Abdul Halim
bergeming. Ia tetap pada keyakinannya dan menerukan pembaharuan dalam
bidang pendidikan Islam.
Pada
masa awal pendudukan Jepang, organisasi-organisasi pergerakan yang
tahun 1938 bergabung dalam MIAI (PO, AII, Muhamadiyah, dan NU)
dibubarkan oleh penguasa kolonial Jepang. Para ulama atau pimpinan
organisasi tersebut kemudian mendesak penguasa Jepang agar
organisasi-organisasi mereka dibolehkan bergerak lagi. Beberapa
bulan kemudian, organisasi-organisasi tersebut diizinkan oleh penguasa
Jepang untuk melakukan kembali kegiatan-kegiatannya. Federasi MIAI pun
diizinkan bergerak lagi dengan nama Majelis Syuro Muslimin Indonesia
(Masyumi).
Saat
itulah PO berganti nama menjadi Perikatan Oemmat Islam (POI). Dengan
perubahan Ejaan Bahasa Indonesia sistem Soewandi (1974), nama itu
menjadi Perikatan Ummat Islam (PUI).
PUII Sukabumi
Persatuan
Ummat Islam Indonesia (PUII) didirikan oleh KH. Ahmad Sanusi di
Sukabumi, Jawa Barat. Pada awalnya, PUII bernama Al-Ittihadiyatul
Islamiyah (AII).
Pada
masa pendudukan Jepang, AII sebagai anggota MIAI mengalami proses yang
sama seperti PO. Pada saat itulah AII berganti nama menjadi Persatuan
Oemmat Islam Indonesia (POII) tahun 1942 dan berubah nama lagi tahun
1947 menurut Ejaan Soewandi menjadi PUII.
Perjuangan
PUII Sukabumi sejak awal secara prinsip sama dengan PUI Majalengka.
Faktor utamanya, karena kedua pendiri organisasi itu, yakniKH. Ahmad
Sanusi dan KH. Abdul Halim, adalah sahabat karib yang sama-sama menimba
ilmi di Mekah, Arab Saudi, antara tahun 1908-1911 M. Istilahnya,
keduanya “saguru saeilmu”, satu guru satu ilmu.
Keduanya
bersahabat sangat baik. Mereka pun sering saling bertukar pikiran, baik
di bidang pendalaman ilmu maupun pengalaman ilmunya kelak setelah
kembali ke tanah air. Waktu
di Mekah, mereka juga bertemu dan menjalin persahabatan karib dengan
tokoh-tokoh pejuang Islam Indonesia lainnya, seperti KH. Mas Mansyur
(Muhammadiyah) dan KH.Abdul Wahab (Nahdlatul Ulama).
Sekembalinya
di tanah air, persahabatan mereka berlanjut. Mereka saling berkunjung
untuk lebih memantapkan cita-cita yang telah terukir dan digalang sejak
di perantauan, yaitu cita-cita untuk menggalang persatuan dan kesatuan
ummat Islam Indonesia. Bagi mereka, persatuan umat Islam merupakan
tulang punggung wawasan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Setelah
masing-masing memimpin PO dan AII, frekuensi pertemuan mereka makin
tinggi dan efektif. Sejak KH. Abdul Halim (PO) diundang oleh KH. Ahmad
Sanusi untuk memberikan ceramah pada Muktamar AII di Sukabumi, pada
Maret 1935, rencana realisasi cita-cita tentang terciptanya persatuan
dan kesatuan ummat Islam Indonesia semakin konkret. Kedua ulama beserta
seluruh anggota masing-masing bertekad bulat untuk melebur organisasi
mereka, guna mewujudkan cita-cita bersama, dalam ikatan organisasi baru
bernama Persatuan Ummat Islam (PUI) .
Pada
berbagai kesempatan, betapapun sibuknya mereka sebagai wakil-wakil
rakyat dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu Zyumbi Choosakai, mereka menyempatkan
diri untuk menyusun rencana teknis pelaksanaan fusi kedua organisasi
mereka.
Rencana
mengenai nama bentuk organisasi hasil fusi, yaitu Persatuan Ummat
Islam, rancangan (konsep) kepengurusan, waktu serta tempat diadakan
fusi, dan lain-lain telah disepakati bersama.Tetapi takdir Allah tidak
dapat dielakkan. Sebelum upacara fusi dilaksanakan, KH. Ahmad Sanusi
dipanggil oleh Allah SWT. Beliau wafat tahun 1950.
Sesuai
dengan wasiatnya kepada keluarga dan pengurus PUII agar pelaksanaan
fusi secepatnya direalisasi, maka tanggal 5 April 1952 bertepatan dengan
9 Rajab 1371 H, PUI dan PUII resmi berfusi menjadi Persatuan Ummat
Islam (PUI).Tanggal 5 April pun dinyatakan sebagai “Hari Fusi PUI”.
Dalam beramal, PUI berpedoman pada Ishlahuts Tsamaniyah atau Perbaikan Delapan bidang, yaitu: Perbaikan Keyakinan (Ishlah ‘Aqidah), Perbaikan Ibadah (Ishlah Ibadah), Perbaikan Pendidikan (Ishlah Tarbiyah), Perbaikan Keluarga (Ishlah ‘Ailah), Perbaikan Tradisi (Ishlah ‘Adah), Perbaikan Ummat (Ishlah Ummah), dan Perbaikan Masyarakat secara keseluruhan (Ishlah Muj’tama).
Para
pendiri PUI, yaitu KH. Abdul Halim, KH. Ahmad Sanusi, dan Mr.
Syamsuddin, berkat jasanya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia,
dianugerahi Bintang Maha Putera Utama, berdasarkan No. 048/TK/Tahun 1992
tanggal 12 Agustus 1992. KH. Abdul Halim bahkan dianugerahi gelar
Pahlawan Nasional pada November 2008.
Saat
ini, PUI memiliki jutaan kader.Anggota dan jaringan struktur terbesar
ada di Jawa Barat –jumlahnya ditaksir lebih dari 10 juta anggota. PUI
memiliki ribuan madrasah mulai tingkat Raudlatul Athfal (RA), Madrasah
Ibtidaiyah (MI) dan yang sederajat, Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau SLTP,
dan Madrasah Aliyah (MA) atau SLTA sampai tingkat Perguruan Tinggi.
Anggotanya
beragam, tersebar di daerah-daerah tingkat I (propinsi), yaitu DKI
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur DI. Yogyakarta, Lampung,
Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Aceh, Riau, Bengkulu, Kalimantan
Selatan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan dan
Bali.
Harus
diakui, “bendera” PUI jarang atau tidak berkibar seperti bendera ormas
Islam lain, seperti NU dan Muhammadiyah. Popularitas PUI pun cukup jauh
di bawah kedua ormas tersebut. Akibatnya, kehadiran PUI kurang dirasakan
atau kurang dikenal di masyarakat.Penyebab utamanya, seperti
dikemukakan Anggota Penasihat PP PUI Prof. Dr. H. Hasan Mu’arif Ambary,
MA., kegiatan PUI di berbagai wilayah cenderung tidak menampilkan
kehadiran organisasi PUI itu sendiri. “Penyelenggaraan kegiatan yang
semestinya menunjukkan organisasi induk (PUI), sering dilakukan dengan
mempergunakan lembaga lokal, misalnya yayasan, sehingga kehadiran PUI
kurang dikenal masyarakat,” tegasnya.
Popularitas
PUI tidak sebesar nama-nama pengurusnya. Di tingpat pusat (PB PUI),
sejumlah tokoh tercantum sebagai pengurus PB PUI. Sebagai contoh saja,
KH. Cholid Fadhlullah (Ketua Penasihat), HM. Ahmad Rifa’I (Ketua Dewan
Pembina), KH. Anwar Saleh (Pembina), Prof. Dr. KH. Didin Hafiduddin
(Dewan Pakar), Sunmanjaya Rukmandis, dan banyak lagi. Kini popularitas
PUI “mencuat”, menyusul terpilihnya H. Ahmad Heryawan (Ketua Umum PB
PUI) sebagai Guburnur Jawa Barat periode 2008-2013 dalam Pilkada Jabar
2008.
Kegiatan
PUI dewasa ini meliputi tiga bidang pokok, yakni pendidikan formal (TK
s.d. Perguruan Tinggi), Pendidikan Nonformal (Dakwah) seperti Majelis
Ta’lim, dan Kegiatan Sosial-Ekonomi seperti koperasi dan pendidikan
keterampilan. Wallahu a’lam. (ASM. Romli/Intisabi, berbagai sumber).*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar